Paradoks Manusia
Oleh :
ALVAN.M.A
Berjalan diatas sebilah
pisau menyusul pedih
Kaki berdarah hitam
pekat
Tersadar jika sudah
ditanam benih
Hanya tak mengenal
sinyalnya
Bulan berputar mengelilingi bumi
Bersinar
menerangi malam
Tak semencolok matahari .
Bulan masih berusaha
menyinari
.
Jangan berhenti bersinar
Aku hitam tanpa putaran
Aku bajingan tenggelam
Menembus teka teki .
Menemukan Paradoksnya
disetiap nafas
Hujan deras
tak henti untuk menyirami tanah, Jakarta Macet tetapi tidak untuk kota Bandung,
Jl. Kebonjati No. 31, Bandung saat
itu tertutup kabut nun hujan. Laki laki berseragam SMA itu asyik dengan secarik
kertas dan kerayon. Matanya asyik membentuk imajinasi disebuah putih lembara.
‘’ Kak, warna ungunya habis.’’ Seorang bocah kepala botak mendekat.’’ Oh, itu
gampang, kamu tambahi warna merah sama biru saja, dicampur langsung jadi
ungu.’’ Jawab pria itu, setelah meladeni bocah itu ia kembali asyik menata
kembali dunianya pada lembaran itu.
Aroma
tanah basa menjadi kekhasan ditemani dingin, rumah kayu kecil itu aman dari
derasnya hujan. Pria itu member sentuhan terakhir pada gambarnya, ia menggambar
pensil dan buku tepat di pojokan kertas. Entah apa maksudnya, semua karya
karyanya selalu bertandakan sebuah pensil dan buku pada pojokan bawah.’’ Udah sore
nih, hujan udah redah, Kak Iqbal entar mesti pulang yah.’’ Erangnya, matanya
mengerjap melihat luar.
‘’ yaa
Kak, nginep disini saja, kita semua disini malas balik ke panti asuhan.’’ Salah
seorang bocah berkaca mata protes, suaranya agak cempreng.
‘’ Iya,
kakak tahu, tetapi. Kakak mesti pulang. Besok kita lanjuti dengan Mbak Mila
yaaa, kita belajar lagi.’’ Rasanya tidak tega menyaksikan 9 anak anak panti
asuhan yang kurang dilirik ini. Tetapi Iqbal sendiri sadar, apakah ia juga
dilirik oleh hati kedua orang tuanya. Malahan mereka lebih melirik hati mereka
sendiri. Untuk menghargai keduanya Iqbal pulang melawan gerimis, sepeda pancal
dikayuhnya melewati jalanan basah yang mengkilap, suasana jalan agak gelap oleh
mendung. Pria itu mengintip arlojinya dan Nampak angka sore itu, sudah pukul
lima sore. Kertas yang sudah digambar tadi rapi terlipat dalam ranselnya.
…
Pagi sekali
ia sudah asyik menyetrika seragam batik. Tantenya asyik menonton berita di TV,
hanya mereka berdua dirumah besar itu. Gadis itu bernama Mila, pagi menjelang
akan sekolah ia sudah menata rapi pakaiannya, selalu disetrika dan diberi
wangian yang menurut orang orang aromanya mirip bayi. Mila lebih suka aroma
macam itu, membuat ia merasa tidak sendiri.
Tante Dila
melirik sinis keponakannya. Tak memuji atas ketelatenan Mila membantunya
membersihkan rumah. Tante Dila memiliki
dua anak, satu perempuan satu laki laki, mereka berdua sudah menikah dan
tinggal di Jawa Timur dan Bali. Saat ini yang menemani Tante Dila hanya Mila
seorang, tetapi mereka kurang rukun.
Jarum
menunjukkan pukul 6 lebih 10 menit, ia sudah sibuk dengan memoles pelembap pada
wajahnya, menggunakan celak agar matanya tajam. Senyumnya tulus berseri sei,
berharap akan dilirik oleh si dia yang ada di sekolah.
Setiap hari
Mila pergi ke sekolah dengan hanya mengayuh sepeda pancal warisan Almarhum
Ayahnya. Kicau burung senada dengan angin angin dingin dan hangatnya mentari
pagi yang masih merah keorange orangean. Pohon pohon seakan berjalan kebelakang
seiring sepeda berjalan. Dari belakang terdapat Bell sepeda pancal milik
seorang. Seorang yang selalu ada tiap kali ia butuh. Seorang yang dengan
segenap keikhlasannya mau menemani. Seorang Sahabat Karib.’’ Lemot.’’ Ejeknya,
pria itu mempercepat kayuhannya.
‘’ enak
saja.’’ Mila tak terima, ia juga mempercepat kayuhannya. Terlalu mengasyikan
mereka menikmati pagi, tak ada yang lebih mengasyikan. Seolah keduanya terbang
bersama. Didepan gerbang sekolah, keduanya bersamaan menyapa sang Satpam
sekolah. Hanya dibalas senyum kecil oleh sang satpam.
Anak anak
hilir mudik, menggunakan seragam SMA. Guru guru banyak yang baru datang.’’ Kamu
gak kekelas Mil?’’ Tanya Iqbal, sahabat karib Mila itu tak ingin meninggalkan
Mila sendirian didekat tempat parker guru.
‘’ enggak,
kamu tahukan aku nunggu siapa?’’ Mila mengingatkan apa maksudnya, yang sudah
sering kali ia curahkan hanya kepada Iqbal, Iqbal mulai mengerti. Tetapi tak
ada reaksi apa apa. Mila sengaja menunggu seorang Guru dudah berusia 37 tahun
dengan jaket coklat kemerahannya. Mila kagum kepada Guru itu. Bukan hanya
kagum, ia tak mampu bermunafik kepada dirinya sendiri, ia terlalu tolol untuk
sebuah hati sehingga terkunci rapat. Sebagai seorang Sahabat, Iqbal tahu hal
ini. Siapa lagi yang menjadi cermin, siapa lagi yang menjadi pelepas cerita
pribadi kalau bukan Iqbal. Iqbal tahu bahwa Mila sangat mencintai Pak Rian.
Semua ini awalnya berhasil disembunyikan terlalu rapat oleh Mila, seolah Mila
remaja sama dengan yang lain. Tetapi hati memberi isyarat, sebagai seorang
sahabat terlanjur setia, bahkan terlalu setia sampai menyebutnya setia atau
yang lain. Iqbal orang pertama yang jadi sandaran curhat dari Mila.
Satu hal
penting penuh maksud yang Iqbal ketahui tentang perasaan Mila. Ia tahu bahwa
perasaan Cinta itu bukan tidak beralasan. Ada sebabnya mengapa Cinta Mila
sangat dalam nun tak dapat disebut main main atau sekedar cinta monyet, sekali
lagi yang tahu betul bagaimana dalamnya itu hanya Iqbal seorang.
Mila
kehilangan sang Ayah ketika ia masih duduk di bangku TK. Ibunya pergi ketika
melahirkannya, Mila tak mengenal sosok Ibu, ia buta seperti apa Ibu. Yang ia
tahu hanya Ayah. Kata Ibu hanya ia tahu sebatas pengetahuan semata, buka dari
kontak batin.
Ayah, siapa
lagi yang melindunginya bukan Ayah, siapa lagi yang menghentikan tangisnya
kalau bukan Ayah, siapa lagi yang tulus membiarkan dirinya tetap menduda dan
memberikan segenap jiwanya kalau bukan Ayah. Siapa yang membelikannya mainan
dan mengajarinya banyak hal kalau bukan Ayah. Ayah, hanya itu yang ia tahu
murni dari kontak batinnya. Tidak ada yang lain, Ayah memberikan segalanya
tulus tanpa Mila minta. Ayah mengerti semuanya bahkan isi hati terdalam Mila.
Hanya Ayah yang mengerti itu semua, tetapi Jalannya sudah diatur oleh Maha
Kuasa.
Kembali ke
lampau, saat Mila baru sudah memasuki TK besar, hujan deras menyeruak bisingkan
banyak hal. Ayah datang menjemputnya seperti biasa. Mila sudah menunggu selama
satu jam, waktu yang terasa berat bagi seorang gadis kecil. Ayah menaiki sepeda
pancal menjemput Mila, baru mengangkat kakinya untuk turun dari sepeda dan
melepas mantel birunya. Mila yang tingginya masih setinggi perut Ayahnya itu
menyipitkan mata, dengan polos bertanya.’’ Ayah kok pucet kayak hantu.’’ Mila
tak punya rasa was was karena masih kecil.
‘’ ndak nak.
Ayah sehat, Ayah hanya kedinginan. Yuk pulang, nanti kita mampir ke warung
Rujak Cingurnya Bu Siti.’’ Ayah menjanjikan mengajak Mila kewarung kecil
favorit mereka. Pamilik warung mirip saudara saja sangkit dekatnya dengan
mereka, hujan hujan begini cocok makan rujak cingur dengan teh hangat. Hujan
tinggal gerimis, selokan membentuk banjir air coklat. Jalan raya melukiskan
kilap licin berwarna hitam.’’ Yah, hati hati kalau nyetir.’’ Keluh Mila, ia
merasakans sepeda pancalnya oleng tak kenal Arah.’’ Ayah, awas.’’ Teriak gadis
mungil ketakutan itu. Ayah tak mendengarnya sepeda terguling, tubuh mereka
coklat nun basah oleh air kotor bekas hujan. Mila berusaha bangkit setelah
tertindih sepeda, gadis yang malang. Ia menangis kesakitan.’’ Ayah, Mila keluar
darah.’’ Keluhnya menunjukkan lututnya tergores aspal. Ayah masih diam miring
di depan sampai Mila menyadari jikalau Ayahnya tak bergerak sama sekali walau
dikoyak. Jeritan tangisnya makin histeris melihat mata Ayahnya sudah menutup.
Jeritannya menarik perhatian orang orang untuk menolongnya dan membawanya ke
Klinik terdekat. Gadis sekecil Mila kala itu sudah bisa merasakan kehilangan
mendengar Dokter mengfonis sang Ayah pergi menyusul Ibu disana. Semua itu
disebabkan Ayah mengidap kelenjar getah bening selama ini, demi memberikan
segalanya, penyakit seserius itu dipandang tak pernah ada. Setelah itu Tantenya
menemani Mila di rumah, awalnya ia sayang tapi lama lama Tante terlalu banyak
mengatur.
Mila
kehilangan sang Ayah, ditinggal menyusul Ibu.
Sekarang Mila bersama Tante galak
yang kadang kadang dikerjai olehnya. Tak ada lagi kasih sayang stulus nun se
dalam Ayah. Ketika ia mengenal Cinta dalam hatinya terbenak bahwa suatu saat
kelak ia hanya mau menikah dengan pria yang bersifat seperti Ayahnya. Tak lebih
hanya itu saja. Memberikan segenap ketulusan tanpa diminta atau diberi isyarat.
Dan cerita itu hanya diketahui Iqbal, itu rahasia mereka berdua. Pak Rian
datang dengan sepedanya.’’ Pagi pak.’’ Sapa Mila, senyum kecil bermakna tak
biasa sudah pasti tersungging dari Mila, senyum semacam itu hanya lurus kepada
Pak Rian. Mila yakin Bahwa Pak Rian itu seperti Ayah, Mila sudah terlanjur jauh
jatuh cinta.
‘’ Pagi
juga.’’ Jawab Pak Rian tulus. Melihat itu Iqbal mengalihkan pandangan. Hampir
setiap hari Mila mencari kesempatan agar dapat bersaut mulut dengan Pak Rian.
Sementara Iqbal asyik menggambar. Mila menggambil Jurusan IPA bukan karena ia
pintar atau ahli pelajaran di jurusan tersebut, melainkan untuk Pak Rian
sebagai Guru Fisika.
Iqbal
mengambil jurusan Bahasa karena disana pelajaran seni budaya lebih menditail.
Setiap pulang sekolah Mila dan Iqbal sering kerumah kecil dari kayu yang biasa
ditempati nongkrong anak panti asuhan. Mila sangat suka bercerita, anak anak
terhibur dengan cerita ceritanya. Sementara Iqbal, ia yang selalu mengajarkan
anak anak bermain seni. Seni apa saja. Terlepas dari itu Iqbal sibuk melukis
sebuah wajah yang rapat ia sembunyikan bahkan dari Mila. Iqbal sulit ditebak
jalan pikirnya oleh Mila, tetapi Iqbal yang dapat menerima semua curhatan Mila
ikhlas.
Suatu hari,
sepeda Mila rusak. Terpaksa ia bawa sepeda itu ke bengkel dekat rumahnya, untuk
pergi kesekolah Iqbal menjemputnya dengan sepeda pancal miliknya dan
menboncengnya. Seperti ada cahaya yang lebih terang pada Iqbal membonceng Mila.
Sembari sepeda terus berjalan keduanya tak mau berhenti bercanda nun berguarau.
Disitu Iqbal lah yang paling Nampak penuh cahaya seolah nyawanya nambah dua
saja. Tetapi cahaya itu redup ketika pulang sekolah Mila meminta Izin.’’ Bal,
Sorry yaa. Hari ini aku gak bisa bareng sama kamu, soalnya aku diajak Bareng
sama Pak Rian’’ bisik Mila.
‘’ Hah? Lha
terus aku sendirian dong’’ Iqbal member
nada bercanda.’’ Kok bisa sih, gimana ngajaknya?’’ Iqbal sudha tahu sebenarnya
dan tebakannya benar, hanya ia berpura pura tidak tahu agar menyenangkan hati
sahabat karibnya itu.’’ Baru aja setelah bell pulang. Pak Rian nanya ke aku
karena gak pake sepeda, yaa aku bilang aja rusak dan dia nawarin bareng,
kebetulan searah lewat depan rumah.’’ Mila mengakui, Iqbal tampak bimbang nun
tidak nyaman mendengar itu tetapi ia melihat cahaya lebih terang pada Mila.
‘’ Yaudah
aku pulang duluan.’’ Iqbal menjawab datar, dan segera menaiki sepedanya. Mila
takut Iqbal kecewa tapi ia tahu bahwa Iqbal pasti mengerti. Sepeda Pak Rian
datang dari parkiran berhenti tepat didekat Mila.’’ Gimana jadi bareng?’’ Tanya
Pak Rian, dia seorang Guru yang ramah kepada semua murid, hidup menyendiri dan
sudah ditinggal istri menemui sang ilahi.
‘’ Makasih
ya pak.’’ Puji Mila ditambah senyum. Mila menaiki speeda itu, Pak Rian
menginjak perseneleng lalu meluncur. Anak anak ngelihatnya biasa saja, karena
banyak murid yang harus nebeng dengan Guru. ‘’ Pak gerimis.’’ Mila
mengingatkan.
‘’ kita
mampir ke warung rujak Cingur Bu Siti dulu yaa, Bapak gak bawa mantel.’’
Mendengar saran Pak Rian, Mila merogoh sakunya, syukur ia membawa uang 20 ribu.
Sepeda berhenti disana.’’ Jadi Warung ini langganan Bapak Juga?’’ Tanya Mila,
selama dibonceng tadi hati Mila sudah berdebar, ditambah kini diajak ke warung,
hatinya makin mantap bahwa Pak Rian juga mendengar isyarat hatinya.’’ Yaa
begitulah.’’ Jawab Pak Rian mudah saja.
Mereka
berdua duduk di tempat yang disediakan.’’ Kebetulan ini juga tempat langganan
saya.’’ Mila jujur nun terus terang.’’ Itu siapa? Cowok yang tiap hari sama
kamu?’’ Tanya Pak Rian sembari mengusap mata’’ Iqbal?’’ Mila membenarkan.
‘’ Iyah, dia
itu pacar kamu?’’ Tanya Pak Iqbal.
Mila takut
terjadi kesalah pahaman.’’ Bukan pak, dia itu sahabat karib aku, kalau soal
pacar saya hanya mencari orang yang seperti Ayah saya.’’ Jelasnya. Pak Rian
merasa konyol mendengar jawaban itu, iapun makin tertarik untuk mengorek
semua.’’ Memangnya kenapa sama Ayah kamu?’’ Pak Rian memberikan pertanyaan
kecil yang akan dijawab panjang lebar. Sesuai tebakannya, Mila menjelaskan
semuanya, sampai matanya memerah. Pandangan mata mereka lekat selama cerita
berlangsung. Pak Rian mendengarkannya dengan teliti. Kini cerita itu telah
diceritakan oleh dua orang, Pak Rian dan Iqbal, Mila juga menjelaskan
bahwasannya warung ini memiliki kenangan dalam antara ia dan Ayah. Dua porsi rujak
cingur dsatang. Mendengar cerita jujur Mila membuat Pak Rian menceritakan
sebuah kisah, kisahnya yang akan mengubah segalanya.’’ Ayah mu itu orang yang
luar biasa nak. Saya juga ingin menceritakan bagaimana saya kehilangan istri
saya. 7 tahun yang lalu, Istri saya sakit keras, ia dinyatakan mandul oleh
dokter, tetapi saya sudah terlanjur jauh tersesat dalam cintanya.’’
‘’
memilikinya adalah sebuah Anugrah Tuhan yang sangat aku syukuri, dialah Mimpi,
nyata dan diantara mimpiku. Untuk bisa bersamanya saya tak perlu bermimpi,
karena dia ada nyata disampingku. Penyakit kistanya semakin parah. Sore hari
menjelang Maghrib, hujan turun deras sekali, Bapak demam saat itu, biasanya
istri bapak yang merawat bapak kalau sedang demam. Tetapi ia lebih butu bapak. Samapai
saya sadar jikalau saya tak biasa hidup dengannya, saya sadar bahwa saya
mencintainya terlalu dalam . ia mencintai saya tanpa syarat, dalam hati paling
dalam saya berjanji, akan mencintainya selamanya, didepannya saya berjanji.
Saya tak akan pindah kelain hati, biar saya menunggu Tuhan memanggil saya untuk
bertemu kembali dengannya. Di saat itu saya menuntunnya membaca dua kalimat
syahadat, selepas itu ia kembali tidur untuk selamanya. Saya amat terpukul
sekali, hampir 8 bulan saya tidak punya semangat hidup. Tetapi seorang ustadz
mengingatkan jikalau manusia tak boleh mendzalimi diri sendiri. Semenjak itu
Bapak tak pernah lagi jatuh cinta. Seperti dihapus sudah rasa syahwat atau
sebangsanya. Bapak seperti sebuah cangkang kosong. Hanya hidup tapi sudah tak
punya cinta. Maafkan Bapak yaa sudah cerita terlalu jauh, kamu pasti bosan
mendengar cerita saya ini.’’ Pak Rian terlihat berusaha tegar, tetapi di situ
Mila yang paling terpukul. Karena ia tahu apa yang tak bisa ia miliki.
Semnjak
kejadian itu, Iqbal sering melihat Mila diam nun menyendiri, Iqbal tak melihat
cahaya sepercikpun pada Mila. Iqbal sering kali mendekati Mila untuk
membujuknya berbicara. Hanya saja jawaban Mila selalu.’’ Aku gak papa kok.’’
Jawaban penuh dusta, bukan dusta kepada Iqbal tetapi dusta kepada diri Mila
sendiri.
Suatu malam
Tante Dila ada urusan ke Jakarta, Mila sendirian disana. Telephone berbunyi,
Mila mengangkatnya.’’ Mil, kamu dirumah?’’ Tanya Iqbal.
‘’ Iya ada
apa?’’ Mila bertanya heran.
‘’ jalan
jalan yuk.’’ Ajaknya.
‘’ Malam
ini?’’ Mila terkejut mendengar pengakuan itu.
‘’ Tahun
depan, ya sekarang. Kita ketemuan di Gang STAR yaa.’’ Saran Iqbal.
‘’ Hemm’’
Mila tak banyak memberi jawaban.
Mempercepat
waktu, Mila berangkat dengan jaket abu abunya. Ia berlari menuju Gang STAR. Disana
mereka berdua bertemu, melanjutkan menuju sebuah kafe anak muda bernama Kedai
Jingkrak. ‘’ ada apa sih?’’ datar sekali Mila heran.
‘’ selama
ini kamu yang sering curhat ke aku, tapi kali ini kamu maukan denger keluh
kesah hati ini. Kakekku sakit, Papa sama mama sudah resmi bercerai. Sekarang
aku seperti daun yang gugur dari pohonnya.’’ Alisnya saling bertemu menunjukkan
keluhnya berat sekali.
‘’ kamu
sahabatku Mil, aku gak tau lagi mesti cerita semuan ini ke siapa.’’ Mendengar
pengakuan kelam Iqbal, Mila jadi ibah, ia baru tahu jikalau selama ini Iqbal
hidup dalam broken home. ‘’ Papa selalu mukulin Ibu, apa saja di banting.
Kemarin aja waktu aku berasaha bantuin Ibu, aku juga kena pukul. Hem’’ Iqbal
tersenyum seakan ada kelucuan.’’ Kamu tahu Mil, hidup ini penuh dengan paradox.
Manusia juga memiliki paradoksnya masing masing.’’ Mendengar itu Mila tak tahan
lagi untuk menyembunyikan kejadian tentang Pak Rian. Iqbal seakan menjadi
cermin yang memantulkan pertanyaan untuk semua curhatan Mila, Mila menangis.’’
Kamu benar, Manusia itu memang memiliki paradoksnya masing masing. Aku yang
terlalu tolol untuk mencintai Pak Rian, dia pria paling setia yang aku temui.
‘’ Mila meminum jus jerukanya. Mata mereka saling beradu mencari keteduhannya
masing masing, sehingga Mila sadar, hanya ia mungkin yang tak mau tahu. Jika ia
tak butuh orang yang sempurnah, ia hanya butuh orang yang dapat membuatnya
sempurnah, seperti Ayahnya yang membuatnya merasa sempurna meski tanpa ada Ibu
disana, Mila tersadar bahwa untuk mencari itu ia tak perlu mencari jauh jauh,
karena sosok itu sudah mengisyaratkan sebegitu lamanya , ia selalu ada, ia
memberikan segalanya tanpa diminta, ia paling mengerti hatinya, ia tepat sedang
berada didepannya saat ini.
SELESAI
0 komentar:
Posting Komentar