Lewat Sekelebat
Oleh :
ALVAN.M.A
Kusandarkan
kepalaku di jendela bus yang akan menuju ke Bandara di kota Jiddah, sedikit air
mata terampas untuk jatuh namun beku didalam hati, deru bus memang tenang dan
orang orang sedang tidur menunggu perjalanaan ini sampai pada ujungnya, dimana
kami akan pulang menuju tanah air setelah melakukan ibadah umroh selama 11
hari.
Dalam bus
ini dingin AC tidak sebanding dengan dinginnya hatiku ini yang memaksa jiwaku
untuk jujur. Sayangnya lebih baik didalam Bus yang dingin Ber AC dari pada
harus diluar yang panasnya bukan menggerahkan tetapi membakar. Pikiranku jadi
mengakar tidak tahu arah, bagaimana tidak? Di sekolah aku harus selalu
menekankan kepada beberapa siswa yang selalu memaniskan kalimat untuk membelai
sekaligus mencuri hati yang satu satunya kupunya.
Mungkin
mereka tidak tahu bahwa aku sangat anti pacaran, apa gunanya pacaran kalau sudah di prediksi putusnya kapan dan
seperti apa, bukankah itu sama saja meminum hidangan lezat beracun tikus,
memang gratis tapi selembar nyawah sudah ditukar untuk mati. Sakitnya mungkin
tidak akan terobati, plus dengan rasa jijik karena pipi kanan dan pipi kiri
atau bahkan bibir yang sudah dinikmati oleh seseorang yang bukan siapa saiapa
dan apa apa. Mungkin alasan terbaikku untuk tidak menerima lidah jahanam yang
manis bagai madu itu untuk memabukkan distorsi pikirku, atau mungkin hatiku
yang lebih memilih untuk nyenyak tidur dan tidak mau terbangun, sehingga dia
menolak berbagai rasa dan serangan. Aku tidak akan jatuh cinta dan tidak akan
pernah jatuh cinta? Mungkinkah dan separah itukah? Belum apa apa aku sudah
mengambil keputusan seenaknya hanya karena belum merasakannya.
Kira kira
begitulah debat hatiku selama di tanah air, sampai segalaanya berubah tidak
sama lagi ketika menginjakkan kakiku di kota Madinah. Memang secara teknis aku
menginjakkan kaki di kota mekkah terlebih dahulu bersama rombongan, hanya saja
Madinah adalah kota yang cukup hebat sampai sampai aku tahu aku bertemu dengan
seseorang yang hanya bisa kuamati kala melewatinya saja, dan lamunanku dalam
bus ini berputar untuk menghayatinya. Dia bukanlah siapa siapa yang istimewa
dan perlu diperdebatkan, dia bukan pria kaya raya yang digandrungi banyak
wanita, dia hanya si pedagang yang mempunyai toko dekat gerbang Masjid Nabawi
dan selalu mencuri perhatianku tanpa dia sadari.
Untuk menuju
Masjid, biasanya aku berjalan berdua bersama Bunda menyabrangi jalan dari hotel
Alfairuz Seasen Hotel. Mengais pahala yang berlipat ganda itu harus
dimanfaaatkan semaksimal mungkin sekalipun kaki kami berdua sedikit nyeri dan
lelah karena Tawaf dan Sya’I di mekkah tiga hari yang lalu. Kami menghabiskan
waktu di mekkah selama lima hari dan di kota ini enam hari. Setiap waktu Sholat
dan usai Sholatlah aku bisa mengamatinya, sebagai gadis Indonesia aku tidak
menggunakan cadar seperti wanita wanita sini, jarang kutemui pedagang wanita di
sepanjang toko. Dan dia selalu tampak semangat energik memperdagangkan barang
barang di toko kecilnya itu. Kadang aku suka tersenyum melihatnya meskipun dia
tidak atau belum menggubrisku. Selama ini dari kejauhanlah aku bisa men ikmati
bayangnya, menatapnya tanpa perlu salah tingkah. Dia selalu menggunakan jubah
panjang selutut berwarna coklat plus setelan celana panjang yang berwarna sama
dengan jubahnya itu, dia seperti lilin yang menyala diantara ribuan lilin yang
tengah padam, dan dari banyak wajah pria arab yang yang bagiku tampak sama
menawan namun mudah terlupkan, dialah yang berhasil mendobrak pintu ingatanku
sehingga sepanjang waktu hanya dia yang masih menempel pada distorsi pikirku.
Aku belum
tahu namanya, bahkan mendekati tokonya saja aku tiak pernah punya keberanian.
Kebiasaanku yang tidak suka berbelanja membuatku kebingungan mencari alasan
apakah untuk bisa mendekatinya, sekedar berbincang sekalipun itu membincangkan
dagangannya, dan dia tidak akan pernah tahu bahwa hatiku sudah memanggilnya
dalam kesendirian dan ketidak masuk akalan.
‘’ Lia…nanti
kita mampir ke toko itu yaaa’’ Bunda menunjukkan tokonya, aku terkejut dalam
suka yang sangat hebat. Apakah Bundaku tidak salah memilih toko itu, padahal di
sepanjang kota Madinah banyak toko toko yang berjejer dan barang kali harganya
lebih mura dari barang barang di tokonya, namun tanpa ragu Bundaku memilihnya
tokonya, seperti hatiku pula yang memilihnya, apa yang terjadi denganku?
Mengapa aku bahagia, mengapa ada warna di jiwaku. Aku hanya bisa menganggyk
tanpa perlu banyak bicara. Sudah masuk waktu dzuhur dan orang orang menuju ke
masjid semua, tak kenal usia dan Masjid ini selalu ramai, memang tanah suci
selalu seperti ini, bahkan ketika tempat tempat sudah mendekati penuh, mereka
bahkan rela mendapatkan tempat dibawah terik matahari dan di dekat dekat aspal
yang panas. Sungguh miris sekaligus kagum diri ini.
Seusainya
Sholat aku dan Bunda beranjak untuk menuju ke tokonya, inilah yang sudah
kutunggu tunggu, dan dia bukanlah lagi orang yang kuamati dari kejauhan, karena
aku akan berbincang dengannya. Aku akan menatap dekat matanya meskipun hanya
bisa menatap, bukan memiliki. Aku bukanlah siapa siapa dan apa apa, kuamati dia
baru saja dari Sholat juga dan membuka pintu tokonya bersama seorang pria paruh
baya, mungkin Ayahnya atau kakeknya. Entahlah dalam kerumunan banyak orang di
gerbang nomor lima belas Masjid Nabawi, sosoknya sudah kutangkap lebih awal bahkan
sebelum benar benar melihatnya. Seusai Solat banyak pedagang yang ramai didepan
gerbang, bahkan beberapa anak kecil lucu meajang timbangan, dan siapapun yang
ingin melihat berat badan mereka, mereka hanya perlu membayar satu Riyal.
Sungguh kreatif betul gadis gadis kecil itu, mereka mencari uang bukan dengan
mengemis, melainkan dengan cara lain yang sesungguhnya itu hampir sama dengan
pengamen. Tak pernah kujumpai di Indonesia. Bunda sudah menarik tanganku
kencang dan kakiku jadi sedikit sakit untuk melangkah lebih cepat lagi.
Dibanyak kerumunan orang orang Bunda berhenti sama halnya dengan detak
jantungku yang berhenti.
‘’
Assalamualaikum…Ibu.silahkan..mari dipilih…murah Bu..’’ si pedagang itu menyapa
Bunda dan mempersilahkan Bundaku untuk memilih, sementara aku hanya seperti
ekor cicak yang membuntuti Bunda dan mengamatinya dari belakang. Bahasa
Indonesianya lumayan baik, sebagai pedagang dia memang harus pintar Beberapa
Bahasa, karena orang Umroh dan Haji memang mayoritas dari Indonesia, sehingga
tidak heran kalau orang orang Arab mengerti sedikit bahasa Indonesia, dia
memiliki janggut tipis di dagu dan pipi belakangnya, matanya menangkap mataku,
tiba tiba hatiku hangus oleh ledakan emosi aneh yang belum pernah kurasakan,
dan dia tersenyum kepadaku. Setidaknya ini adalah kali pertama dia tersenyum
kepadaku, selama ini aku hanya bisa mengamatinya ketika Lewat sekelebat
memasuki Masjid Nabawi saja. Aku menggigit bibir tak sanggup membalas
tatapannya lebih lama. ’’Assalamualaikum…Hal
Hia Bintiki?’’ tangannya melambai kepada Bunda menanyakan tentang siapa
aku. Bunda mengkerutkan kening tidak mengerti Bahasa Arab pria ini, ternyata si
pedagang ini masih kesulitan untuk berbahasa Indonesia dengan ancer, aku
membalas tersenyum konyol, untungnya di sekolah ada pelajaran Bahasa Arab yang
kini sangat berguna, aku tahu maksud dari pria ini.’’ Dia Tanya Bun, saya
anaknya Bunda?’’ kubisikki Bundaku untuk membenarkan semuanya.
‘’ Ohhh Na’am’’ logat Jawa Bunda masih sangat
kental dan lengket, karena dia memang hanya mengetahui dua kosa kata dalam
Bahasa Arab, Iya dan Tidak. Hatiku masih sesak dan kempas kempis.’’ Masmuki ya ukhti?’’ Tanya si pedagang
dengan senyum hangat.
‘’ Lia’’
jawabku dengan menelungkupkan kedua tanganku di dada, senyumnya melebar, lalu
lengannya melambai.’’ Ismi Abdullah. Silahkan’’
sergahnya lembut memberikan senyum tampannya, Bunda sudah mengkorek barang
barang untuk dipilih, sementara aku hanya sanggup diam mematung dan menunduk,
tak berani menengok matanya. Dia menanyakan namaku dan akupun tahu namanya,
bukankah itu sebuah anugrah Tuhan, mungkin karena penduduk Madinah memang ramah
ramah, tak heran dia bisa sehangat itu denganku. Tokonya mulai ramai seperi
biasa dan aku menunggu Bunda di dekat kumpulan tasbih yang menggelantung, si
pedagang itu membantu Bunda untuk mengambil beberapa barangnya, lalu datang
beberapa pelanggan lain dan Ayah pemuda itu keluar untuk membantunya.aku
mendekati Bunda sementara dia dan Ayahnya sibuk melayani pelanggan yang lain,
hatiku sudah terbakar oleh lesatan bintang jatuh, kini aku begitu dekat
dengannya, bahu kami saling bergesekan tanpa disengaja dan dia tidak
menyadarinya, disaat itulah debar ini benar benar menggila seperti panasnya
siang ini. Dia memang hanyalah pedagang sementara aku dan Ibu hanyalah pembeli,
namun bagiku dialah manusia yang kupuja dalam diam dan terpendam, dan aku
selalu mensyukuri itu meski harus bersembunyi dalam kabut kepengecutan.
Ternyata Tuhan memang menyayangiku, dia tahu kemana maksud hati ini ingin
berlabu, dia selalu tahu arah kemana aku mencari rumah, dan matanya beberaa
kali kutangap melirikku. Aku hanya bisa menunduk ketakutan.
‘’ Nduk
ayo’’ tarik Bunda dengan membawa sekantong belanjaan.
‘’ sudah
selesai Bun?’’ tanyaku parau.
‘’ Sudah
nduk…dua hari lagi kita akan pulang’’ jawab Bunda ceria, dia tidak ernah tahu
kata pulang itu seperti pil pahit yang harus aku kunyah dan rasakan mengaliri
lidah dan kerongkongan.’’ Makasih yaa’’ ucap Bunda kepada si peagang itu, aku
tahu waktuku hanya sedikit, karena itu kukumpulkan segenap keberanianku untuk
mengawali bicara, karena lidah suka lumpuh ketika masuk zona salah tingkah.’’
Wassalamualaikum’’ salamku dengan menelungkupkan tangan di dada, dia
membalasnya dengan tindakan yang sama, senyumnya sudah terlalu membakar hatiku.
Aku dan Bunda membalikan badan menembus kerumunan orang, selama dua hari
menjelang pulang ini dia akan kembali menjadi seseorang yang hanya bisa kuamati
ketika lewat sekelebat ke Masjid Nabawi, dan aku tidak pernah tahu kapan hati
ini bisa menyeka air matanya, karena asmara selalu tahu dimana letak suara,
hati ini sudah hangus tak menyisakan apa apa.
Aku tidak tahu perasaaan apakaah
ini, sampai kutemukan sebuah kata yang sudah lama mendekam dan berkarat dalam
jiwaku, lantaran tidak pernah kugubris. Aku mempunyai Cinta pertama, dan aku
tidak pernah menduga cinta pertamaku adalah seorang pedagang bernama Abdullah
yang memperdagangkan barangnya di dekat gerbang nomor 15 masjid Nabawi, aku
sudah tahu namanya dan itu lebih dari cukup. Kini dia hanyalah angan kosong yang selalu
kuhayati kehadirannya, Dingin AC bus ini masih sama dasyatnya dengan pedih luka
yang tak bisa ditangiskan, air mata ini ikut beku. Tidak kusangka kutemukan
Cinta pertama di negeri suci ini, tidak aka nada yang tahu, selain diriku dan
TUHAN.
Gunung gunung yang tandus berjalan sekelebat kebelakang seiring laju
bus, dan kutemukan wajahnya dimana mana, kudengar suaranya dari hembus angin
kemudian sosok utuhnya hadir seperti tasbih yang terus dihitung butirnya. Aku
memang tidak pernah jatuh cinta selama ini, tetapi ketika cinta pertama itu
sudah ketemukan, rasanya sungguh hebat, antara suka dan nestapa, gelap dan
terang, bersatu menjadi guncangan memeory yang mungkin sukar dilupakan seumur
hidupku, sekalipun aku tidak akan memilikinya seutuhnya, hanya mengamati dari kejauhan
tanpa perlu takut salah tingkah, dalam lewat sekelebat.
Tidak akan ada yang tahu. Hanya lewat sekelebat
Aku pernah
bertemu Cinta pertama dan dia si pedagang bernama Abdullah.
TAMAT
0 komentar:
Posting Komentar